INFO KEMITRAAN

Info aneka kebutuhan barang Anda, klik tautannya di sini Showcase Fendy Sy. Citrawarga. https://vt.tiktok.com/ZS6f5nX7Y/?page=Mall

Jumat, 18 Desember 2020

HIKMAH: Akhlak dalam Islam, Pengertian, Contoh, dan Manfaatnya


Ilustrasi berdoa./©shutterstock

BAIT-BUAT-DAKWAH.COM - Indonesia dikenal sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi sopan santun dan etika dalam kehidupan. Hampir di setiap daerah selalu menekankan seseorang untuk memiliki akhlak yang baik saat menjalani aktivitas sehari-hari. Maka tidak heran apabila pendidikan di Indonesia juga senantiasa mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai akhlak dan etika.

Akhlak dalam bahasa Arab berasal dari kata khuluk yang berarti tingkah laku, perangai, atau tabiat. Secara terminologi, akhlak adalah tingkah laku seseorang yang didorong oleh sesuatu keinginan secara mendasar untuk melakukan suatu perbuatan.

Sementara itu, menurut Imam Al Ghazali, akhlak merupakan tingkah laku yang melekat pada diri seseorang yang dapat memicu perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.

Dilansir dari laman NU Online, Rasulullah saw. diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak manusia. Pasalnya akhlak merupakan salah satu fondasi penting untuk orang-orang yang beragama sehingga akhlak dan budi pekerti sangat dibutuhkan bagi setiap orang yang beragama dalam menjalani kehidupan di masyarakat.

Pengertian Akhlak dalam Islam

Akhlak merupakan sebuah sistem yang mengatur tindakan dan pola sikap manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam ajaran agama islam, sistem nilai tersebut merupakan sumber ijtihad sebagai salah satu metode berpikir secara islami. Akhlak memicu terjadinya tindakan dan hubungan antara Allah, sesama manusia dan alam semesta.

Menurut Imam Al-Ghazali, akhlak merupakan salah satu sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang dapat menimbulkan suatu perbuatan yang mudah dilakukan tanpa adanya pertimbangan pemikiran lagi. 

Sementara itu, Muslim Nurdin mengatakan bahwa akhlak adalah sebuah sistem nilai yang mengatur tindakan manusia yang ada di muka bumi.

Adapun pengertian akhlak menurut Muslim Nurdin dibagi menjadi dua sudut pandang, yaitu Suluq Azzahriah dan Bataniah. Suluq azzhariah merupakan suatu cara pandang yang memperlihatkan hal-hal yang tampak di dalam diri seperti tutur kata, tingkah laku dan watak. Sementara itu menurut sudut pandang Bataniah, akhlak adalah ilmu yang membahas berbagai masalah yang dihadapi manusia terkait dengan hal-hal yang bersifat kejiwaan.

Macam Akhlak Menurut Islam

Menurut Islam, macam akhlak ada dua yaitu akhlakul karimah (akhlak terpuji) dan akhlakul mazmumah (akhlak tercela). Adapun defenisinya sebagai berikut:

1. Akhlakul Karimah

Akhlakul Karimah atau disebut dengan akhlak yang terpuji merupakan salah satu golongan macam akhlak yang harus dimiliki setiap umat muslim. Adapun contoh macam akhlak tersebut di antarannya sikap rela berkorban, jujur, sopan, santun, tawakal, adil, sabar dan lain sebagainya. 

Sebagai umat muslim sudah seharusnya kita selalu menjaga akhlakuk karimah dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

2. Akhlakul Mazmumah

Akhlak Mazmumah atau akhlak tercela merupakan salah satu tindakan buruk yang harus dihindari setiap manusia. Hal ini harus dijauhi karena akhlakul mazmumah dapat mendatangkan mudharat bagi diri sendiri maupun orang lain. 

Contoh dari macam akhlak akhlakul mazmumah yaitu sombong, iri, dengki, takabur, aniaya, ghibah dan lain sebagainya. Sebagai orang muslim sudah seharusnya kita menghindari akhlakuk mazmumah atau akhlak tercela.

Manfaat Akhlakul Karimah

Setiap muslim dianjurkan untuk memiliki akhlakul karimah atau akhlak yang terpuji. Bagi seseorang yang memiliki sikap tersebut maka dapat mendatangkan manfaat bagi kehidupan sehari-hari maupun di akhirat nanti.

Berikut ini beberapa manfaat macam akhlak terpuji:

1. Dicintai Nabi Muhammad Saw

Keutamaan memiliki akhlakul karimah yang pertama ialah dicintai Rasulullah saw. Disebutkan dalam sebuah hadis, seorang muslim yang memiliki sifat terpuji maka menjadi orang yang dekat dengan Nabi Muhammad saw. Sebagaimana dalam hadis berikut ini, Rasulullah saw. bersabda:

“Orang yang paling saya cintai dan paling dekat dengan tempat saya kelak di hari kiamat adalah mereka yang memiliki akhlak mulia. Sementara orang yang paling saya benci dan tempatnya paling jauh dari saya kelak di hari kiamat adalah mereka yang keras dan rakus, suka menghina dan sombong.” (HR Tirmizi).

2. Berat Timbangannya di Hari Kiamat

Seorang muslim yang memiliki sikap akhlakul karimah di hari akhir kelak akan diselamatkan oleh Allah SWT. Selain itu, setiap muslim yang memiliki akhlakul karimah juga dapat mencapai derajat seperti seseorang yang berpuasa dan salat. Hal ini sebagaimana dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda:

“Tidak ada sesuatu amalan yang jika diletakkan dalam timbangan lebih berat dari akhlak yang mulia. Sesungguhnya orang yang berakhlaq mulia bisa menggapai derajat orang yang rajin puasa dan rajin salat.” (HR. Tirmidzi). (@fen/sumber: merdeka.com) **


Kamis, 17 Desember 2020

TAUSIAH: Ingin Dicintai Allah? Sabar dan Tawakallah! (2/Habis)

BAIT-BUAT-DAKWAH.BLOGSPOT.COM -  Serahkan semua urusan di dunia ini hanya kepada Allah Subhanahu Wa Taala. Janganlah kamu menggantungkan sesuatu kepada selain diriNya. 


Sebab, hanya Allah Subhanahu Wa Taala yang mempunyai kekuasaan atas segala hal. Segala usaha dan kerja keras kita tidak akan berarti apa-apa, jika Dia tidak menghendakinya.

Sebagai hambaNya, kita juga boleh berharap dengan berbaik sangka kepadaNya. Namun, kita harus ingat bahwa Zat yang menentukan hasil usaha kita adalah Allah Subhanahu Wa Taala, bukan manusia. Singkatnya, hikmah dari orang yang selalu bertawakal kepada Allah Subhanahu Wa Taala di antaranya sebagai berikut:

Allah Subhanahu Wa Taala mencukupi segala kebutuhannya. Termasuk dalam golongan orang yang bertakwa. Dimudahkan rezekinya. Diampuni dosa-dosanya. Masuk surga.

Sabar

Sabar termasuk salah satu ciri utama seseorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu Wa Taala. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa sabar merupakan setengah bagian dari iman. 

Sebab, sabar memiliki ikatan yang tidak dapat terpisahkan dari keimanan seseorang, seperti kepala dengan jasad. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Suhaib r.a. bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda:

“Sungguh, menakjubkan perkara orang yang beriman karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan, hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya kepada orang mukmin, yaitu jika ia mendapat kebahagiaan, ia bersyukur karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan, jika ia tertimpa musibah, ia bersabar karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya.” (HR Muslim)

Banyak ayat yang menjelaskan tentang sabar, pada intinya memiliki hikmah sbb:

Sabar merupakan sifat yang harus kita miliki karena termasuk perintah Allah Subhanahu Wa Taala. Sebagaimana orang yang beriman, kita harus meminta pertolongan kepadaNya setelah berusaha dengan penuh kesabaran. Sesungguhnya, usaha yang disertai kesabaran merupakan perbuatan yang disukai oleh Allah Subhanahu Wa Taala.

Kesabaran mendatangkan pujian dari Allah Subhanahu Wa Taala. Seseorang yang memelihara kesabaran berarti telah berlaku jujur dalam keimanannya. 

Sebab, ia mampu menghadapi segala cobaan yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Taala dan tetap mengingatNya dengan baik. Allah Subhanahu Wa Taala mencintai orang yang sabar. Semua orang yang beriman pasti berharap menjadi golongan orang yang dicintai oleh 

Allah Subhanahu Wa Taala. Namun, golongan tersebut hanya untuk orang-orang yang sabar terhadap ujian dan cobaan dariNya. Sabar yang dipelihara dengan baik akan mendapat ganjaran yang lebih baik daripada amalan lainnya. 

Sebab, kesabarannya melebihi usaha atau amalan yang telah dilakukan.Seseorang yang bersabar akan mendapat ampunan Allah Subhanahu Wa Taala. Selain itu, ia juga mendapat pahala dan ampunan dariNya. Wallahu a’lam. (@fen/hajinews.id/dari berbagai sumber) **

Senin, 14 Desember 2020

TAUSIAH: Penuhi Hidup dengan Pahala karena di Dunia Hakikatnya Cuma 1,5 Jam Saja


Hidup di dunia merupakan ladang mencari pahala akhirat, Bersujud (ilustrasi)./reuters/via republika.co.id

BAIT-BUAT-DAKWAH.BLOGSPOT.COM - Hidup dunia hanya sementara dan akhirat selama-lamanya. Hidup di dunia yang sementara ini butuh bekal begitupun dengan akhirat butuh bekal banyak daripada hidup di dunia. 

Jadi, kata Maharani dalam bukunya "Kesalahan Persepsi dalam Al-Qur'an" mengatakan,  hidup di dunia ini adalah untuk berjuang supaya bisa selalu taat sehingga menghasilkan pahala.  

Hidup di dunia ini sungguh sangat singkat seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat al-Mu'minun ayat 112-114:  

قَالَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِي الْأَرْضِ عَدَدَ سِنِينَ # قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ فَاسْأَلِ الْعَادِّينَ #قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا ۖ لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi? Mereka menjawab, kami tinggal di bumi sehari atau setengah hari maka tanyakan kepada mereka yang menghitung. Dia Allah berfirman, kamu tidak tinggal di bumi melainkan sebentar saja, kalau kamu benar-benar mengetahui." 

Allah juga berfirman dalam surat as-Sajdah ayat 5: 

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ 

"Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi kemudian urusan itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadar lamanya adalah seribu tahun menurut perhitungan."  

Tentang berapa lama manusia hidup di dunia Maharani menghitungnya, 1 hari di akhirat  sama dengan seribu tahun di dunia. Bila mengambil patokan usia Rasulullah 63 tahun dan 24 jam itu sama dengan seribu tahun maka dengan usia 63 tahun manusia berarti hanya hidup 1,5  jam di dunia ini. 

"Betapa sebentarnya! Kalau direnungkan, memang benar betapa cepatnya waktu berlalu. Masa-masa sekolah dasar, SMP SMA, kuliah, sampai memiliki keluarga, kemudian menjadi tua sungguh sangat cepat," katanya.  

Jadi pada akhirnya, kata Maharani, manusia akan mati, sesuai firman Allah SWT surat Ali Imran ayat 185: كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

 "Setiap yang bernyawa akan merasakan mati." (@fen/republika.co.id) **    

Minggu, 13 Desember 2020

TAUSIAH: Sabar dan Tawakallah ketika Menghadapi Musibah

 Oleh Sholehudin A Aziz

BAIT-BUAT-DAKWAH.BLOGSPOT.COM - Di tengah maraknya musibah yang melanda negeri tercinta, banyak sekali seruan ulama dan para tokoh nasional agar kita bersabar dan bertawakal kepada Allah SWT. 







Ilustrasi./republika.co.id/ist.

Hanya dengan kesabaran dan tawakal, seluruh ujian atau cobaan dan musibah tersebut bisa dilalui dengan baik, membawa kebaikan, dan keberkahan.

Namun, kesabaran dan tawakal kadang kala terlalu mudah diucapkan, tetapi sulit merealisasikannya dalam praktik kehidupan seharihari. 

Akhirnya, sabar dan tawakal hanya menjadi slogan dan jargon, minus aplikasi yang sesungguhnya. 

Bersabar merupakan sifat khas kaum beriman sejati di samping bersyukur sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis Nabi yang artinya, 

"Betapa unik sikap orang yang beriman. Semua yang terjadi pada dirinya dianggap baik. Tidak ada sikap seperti itu, kecuali pada orang yang beriman. Jika memperoleh kemudahan dia bersyukur, hal itu dianggap baik bagi dirinya. Dan, jika ditimpa kesulitan ia bersabar, hal itu dianggap baik bagi dirinya."

Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah saw. senantiasa mengajari orang yang terkena musibah dengan sikap yang paling bermanfaat bagi dirinya, yaitu bersabar dan introspeksi diri (al-ihtisab), dengan memberikan alasan bahwa sabar dan introspeksi diri akan dapat meringankan musibah dan memperbanyak pahala. 

Rasulullah juga menegaskan bahwa banyak mengeluh, kesal, dan marah akan menambah beban musibah dan menghilangkan pahala. Rasulullah menjelaskan bahwa tidak ada anugerah Allah yang lebih baik dan lebih luas bagi hamba-hamba-Nya dibandingkan kesabaran. Karena Allah SWT benar-benar mencintai orang-orang yang bersabar. (QS Ali Imran (3): 146).

Kesabaran tidaklah muncul dengan sendirinya, tetapi ia harus diusahakan dan dibiasakan agar menjadi sifat utama diri. Di sinilah dibutuhkan pengorbanan melawan keinginan hati dan perjuangan menahan nafsu diri.

Yakinlah, dengan bekal kesabaran, dipastikan seluruh persoalan akan selesai dengan cara terbaik. Allah SWT berfirman, 

"Sungguh Aku memberi balasan kepada mereka pada hari ini karena kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang." (QS Al Mu'minun: 111).

Sementara itu, tawakal merupakan pelengkap sejati sifat sabar. Tawakal merupakan kerja hati memasrahkan seluruh ujian dan cobaan kepada kehendak-Nya. Menurut Basyar al-Hafi dan Yahya bin Muaz, tawakal berkaitan erat dengan keridaan kita menjadikan Allah sebagai pelindung dalam kehidupan.

Kehadiran tawakal dalam diri akan menghadirkan kemudahan mengatasi persoalan. Karena kita benar-benar mengharap pertolongan dan kemudahan hanya dari Allah SWT Yang Mahakuasa dan Maha Penolong. 

Penulis yakin, bila kombinasi kesabaran dan tawakal senantiasa hadir dalam diri dan jiwa setiap manusia, kemudahan dan kesuksesan akan menjadi capaian terbaiknya. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang sabar dan tawakal. Amin. (@fen/sumber: republika.co.id) **

Jumat, 11 Desember 2020

TAUSIAH: Kejujuran Itu Berkah, Kebohongan Musibah


Ilustrasi/republika.co.id/ist.

Bait-buat-dakwah.blogspot.com - Islam sangat menekankan kejujuran dan melarang keras kebohongan. Banyak ayat Alquran dan hadis Rasulullah saw. yang menegaskan hal tersebut.

Salah satu di antaranya adalah QS at-Taubah ayat 119, yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)."

“Ayat ini menegaskan bahwa ketakwaan dan kejujuran itu saling berkaitan. Kejujuran punya makna atau menjadi ibadah kalau dilandasi ketakwaan. Tidak mungkin orang bertakwa kalau dia tidak jujur,” kata Guru Besar IPB, Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS, seperti dikutip laman republika.coid.

Kiai Didin menambahkan, ada empat sifat yang wajib dimiliki oleh para rasul. Salah satu di antaranya adalah shiddiq (benar atau jujur). Lawannya adalah dusta.

“Dusta itu bukan sifat orang yang baik/takwa. Dusta itu sifat orang yang jahat. Karena itu, orang tua, pendidik, dan pemimpin harus jujur. Hal itu sangat penting untuk melahirkan generasi mendatang yang lebih baik, dan pemimpin umat yang amanah,” paparnya.

Kiai Didin mengutip sebuah hadis Rasulullah yang menekankan pentingnya kejujuran dan mengingatkan bahaya kebohongan. 

“Berlakulah jujur, sesunguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan menghantarkan ke surga. Dan, seseorang yang senantiasa berlaku jujur akan tercatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Jauhilah dusta. Sesungguhnya dusta akan membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu akan menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. Seseorang yang sering berdusta akan tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR Muslim).

Dari hadis di atas, kata Kiai Didin, jelaslah bahwa sumber kebaikan itu adalah kejujuran. 

“Jujur itu berkah. Kalau orang jujur, hasilnya baik. Tidak ada kebaikan tanpa kejujuran. Tidak ada prestasi yang baik tanpa kejujuran,” ujarnya.

Lebih dari itu, kejujuran akan mengantarkan seseorang masuk surga di akhirat kelak. Salah satu pintu di surga adalah Pintu Kejujuran. 

“Hendaklah kalian menjadi orang yang jujur (shiddiq). Sebab, Shiddiq merupakan salah satu pintu di surga. Hendaklah kalian menjauhi dusta, sebab dusta merupakan salah satu pintu di neraka,” tutur Kiai Didin mengutip salah satu hadis Rasulullah saw.

Ia menambahkan, ayat Alquran dan hadis di atas menegaskan, kejujuran itu memerlukan pembiasaan. 

“Apa saja yang baik perlu pembiasaan. Begitu pula, kejujuran perlu pembiasaan,” ujarnya.

 Orang tua maupun pendidik perlu menerapkan pembiasaan jujur kepada anak dan murid. Orang tua dan guru harus menjadi teladan bagi anak dan siswa menerapkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari. 

“Kita harus menanamkan dalam diri anak dan murid kita bahwa jujur itu mahal. Jujur itu indah. Jujur itu tinggi. Jujur itu mulia,” paparnya.

Sebaliknya, kata Kiai Didin, setiap orang harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghindarkan dirinya dari sifat dan perbuatan dusta. 

“Dusta merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Karena itu, harus kita jauhi sejauh-jauhnya,” katanya.

Dusta itu, Kiai Didin menambahkan, sumber berbagai kejahatan. Dusta itu sumber kemunafikan. 

“Rasulullah SAW menegaskan, ada tiga tanda orang munafik. Salah satunya adalah kalau berbicara, dia berdusta,” tuturnya.

Kiai Didin mengemukakan, saat ini dusta sudah berubah menjadi musibah. Orang melihat pesawat jatuh, gempa bumi dan gunung meletus, sebagai musibah. 

Sebetulnya, ada musibah yang lebih besar lagi, namun tidak dianggap sebagai musibah. Apakah itu? 

“Dusta! Bencana alam  memang merupakan musibah. Namun, dusta merupakan musibah yang lebih besar lagi. Karena itu, Rasulullah mengajarkan kepada kita, ‘Ya Allah, janganlah engkau jadikan musibah bagi kami dalam agama kami (yakni merajalelanya perbuatan dusta)’,” kata Prof Didin Hafidhuddin menegaskan. (@fen) **


Rabu, 09 Desember 2020

TELAAH: Mengapa Allah SWT Mempunyai Sifat Rahman dan Rahim?


Bait-buat-dakwah.blogspot.com -
Ahli Tafsir Indonesia, Prof Quraish Shihab, dalam kitab Tafsir Al-Mishbah, menjelaskan tentang makna kata Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Kedua kata itu mendominasi sifat-sifat Allah SWT lainnya sebagaimana banyak dikutip dalam Alquran.

Beliau menjelaskan, apabila seseorang mengucapkan kata ‘Allah’, maka akan terlintas atau seyogianya terlintas dalam benaknya segala sifat kesempurnaan. Allah Mahakuat, Mahabijaksana, Mahakaya, Mahaberkreasi, Mahapengampun, Mahaindah, Mahasuci, dan Mahasegalanya.

Seseorang yang mempercayai Allah, pasti meyakini bahwa Allah adalah Mahasempurna dari segala hal dan Mahasuci dari segala sifat kekurangan. Sifat-sifat Allah yang diperkenalkan cukup banyak. 

Dalam salah satu hadis dikatakan bahwa sifat atau nama-nama Allah berjumlah 99 nama/sifat. Demikian banyak nama/sifat Allah, namun yang terpilih dalam basmalah hanya dua sifat. 

Yaitu kata sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang keduanya terambil dari akar kata yang sama. Agaknya, kata beliau, kedua sifat tersebut dipilih karena sifat itulah yang paling dominan. Dalam hal ini, Allah SWT menegaskan dalam Alquran surah Al-A’raf penggalan ayat 156 berbunyi:

 ۖ وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ

“Wa rahmati wasi’at kulla syai’in,”. Yang artinya: “Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu.” 

Maka, kedua kata tersebut, yakni Ar-Rahman dan Ar-Rahim berakar dari kata 'rahim' yang juga telah termasuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia dalam arti ‘peranakan’. 

Apabila disebut kata rahim,  umumnya orang Indonesia akan terlintasi makna ibu dan anak. Dari sana maka terbayanglah betapa besar rasa kasih sayang yang dicurahkan sang ibu kepada anaknya.

Namun demikian beliau menegaskan, jangan disimpulkan bahwa sifat rahmat Allah SWT sepadan dengan sifat rahmat ibu, betapapun besarnya kasih sayang seorang ibu. Karena Allah bukanlah zat yang dapat disamakan dengan makhluk atau jenis apa pun.

Di sisi lain dalam menguak sifat rahman dan rahim Allah SWT, Rasulullah bersabda dalam hadis riwayat Abu Hurairah: 


عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله  ﷺ يقول: جعل الله لرحمة مائة جزء، فأمسك عنده تسعة وتسعين، وأنزل في الأرض جزءًا واحدًا، فمن ذلك الجزء يتراحم الخلائق، حتى ترفع الدابة حافرها عن ولدها خشية أن تصيبه

“Allah SWT menempatkan rahmat menjadi 100 bagian. Dia menyimpan ini satu bagian. Satu bagian inilah yang dibagi pada seluruh makhluk (begitu meratanya sampai-sampai satu bagian yang dibagikan itu diperoleh pula oleh) seekor binatang yang mengangkat kakinya karena dorongan kasih sayang, khawatir jangan sampai menginjak anaknya.” 

Lebih lanjut beliau menjelaskan, curahan rahmat Allah secara aktual pun dilukiskan dengan kata Rahman, sedang sifat yang dimiliki-Nya seperti tergambar dalam hadis di atas dilukiskan dengan kata rahim. Gabungan kedua kata itu menyiratkan bahwa Allah SWT mencurahkan rahmat kepada makhluk-Nya karena memang Dia merupakan zat Yang Memiliki sifat itu.

Dengan kata Ar-Rahman maka digambarkan bahwa Allah SWT sebagai sifat yang mencurahkan rahmat yang bersifat sementara di dunia ini. Sedangkan Ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya di dunia yang sementara ini meliputi seluruh makhluk, tanpa kecuali dan tanpa membedakan antara mukmin dan kafir.

Sedangkan rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di akhirat. Tempat kehidupan yang kekal yang hanya akan dinikmati oleh makhluk-makhluk yang mengabdi kepada-Nya. Di sisi lain, para ulama sebagaimana yang dijabarkan beliau, menjelaskan makna penggabungan kata Allah dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahim dalam basmalah.

Menurut para ulama, seorang yang jika bermaksud memohon pertolongan kepada Dia yang berhak disembah dan Dia Yang Mencurahkan aneka nikmat, maka yang bersangkutan menyebut nama tergantung dari zat yang wajib wujudnya itu sebagai pertanda kewajaran-Nya untuk dimintai.

Selanjutnya menyebut sifat rahmat-Nya untuk menunjukkan bahwa Dia wajar melimpahkan rahmat sekaligus wajar dimintai pertolongan dalam amal-amal kebajikan karena yang demikian itu adalah nikmat rahmat. 

Selanjutnya dinyatakan bahwa curahan rahmat-Nya adalah wajar karena Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada dirinya. (@fen/republika.co.id) ** 


Kamis, 27 Agustus 2020

KHUTBAH JUMAT: Memetik Nilai Positif dari Pandemi Corona#


KITA telah mengalami hidup dalam keadaan khawatir dan tidak bebas karena wabah corona berbulan-bulan. Sekolah dan madrasah ditutup. Salat jumat dan jemaah sehari-hari berlangsung tidak seperti biasanya. Semoga Allah Azza wa Jallam segera mengangkat wabah ini.

Kita ucapkan segala puji bagi Allah yang semua takdir yang Dia tetapkan adalah baik. Allah Ta’ala berfirman,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Quran Al-Hadid: 22)

Dan juga terdapat dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Yahya Suhaib ar-Rumi, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (HR Muslim).

Oleh karena itu, hal yang seharusnya kita lakukan adalah mengambil nilai-nilai positif dari semua kejadian dalam kehidupan kita. Termasuk dari wabah yang mematikan ini. Yang menimpa kita sekarang. Di antara nilai-nilai positif yang bisa kita ambil adalah:

Pertama: Semakin rekatnya hubungan dengan pasangan kita dan dengan anak-anak kita.

Selama ini ayah sibuk dengan pekerjaannya. Sementara anak-anak sibuk dengan sosial media dan teman-temannya. Sekarang mereka berada di rumah. Intensitas pertemuan antara keluarga meningkat sehingga semakin rekatlah hubungan. Sedikitnya pertemuan antara orang tua dan anak tentu berdampak pada kualitas hubungan. Berdampak juga pada pendidikan dan karakter anak. 

Seringnya orang tua bertemu dengan anaknya tentu akan membuat anak merasakan kehadiran ayah. Mentalnya menjadi lebih positif. Berangkat dari sana, muncullah generasi yang positif pula. Generasi yang terbimbing dengan akhlak dan kasih sayang. Karena akhlak adalah sesuatu yang utama dalam Islam. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” (HR. Ahmad).

Dan juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dari sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ

“Sesungguhnya malu adalah bagian dari iman.” (HR al-Bukhari).

Kedua: Kita bersemangat untuk tetap mengamalkan ajaran agama yang sebelum wabah kita kerjakan. Seperti tetap menjaga salat berjemaah. Menjaga salat sunah rawatib dan witir. Tetap merutinkan zikir pagi dan petang. Dan amalan-amalan lainnya.

Kita juga perhatikan keluarga kita untuk mengerjakan kewajiban sesuai dengan kadar yang dituntut oleh syariat. Karena orang tua, terutama ayah, akan dimintai pertanggungjawaban. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Quran At-Tahrim: 6)

Kita ingatkan anak-anak kita dengan nasihat dan motivasi. Kalau sebelumnya sang ayah kurang dalam melakukan ini, maka manfaatkanlah masa-masa seperti sekarang ini.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Quran Al-Hasyr: 18)

Allah juga berfirman,

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمْ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنْ الصَّالِحِينَ (10) وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْساً إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (Quran Al-Munafikun: 10-11)

Marilah kita bersegera, tidak menunda kebaikan. Manfaatkanlah kesempatan hidup yang hanya sekali ini. Sebelum datang kematian yang memutus kenikmatan.

Ketiga: Kita ajarkan diri kita, istri kita, dan anak-anak kita untuk mengingat nikmat Allah yang banyak. Mengingat nikmat kenyamanan dalam beraktivitas. Nikmat keamanan. Nikmat kepastian kondisi. Nikmat salat berjemaah di masjid. Karena sedikit banyak, kenikmatan-kenikmatan ini berkurang kadarnya di saat-saat sekarang ini. Dari sini kita bisa merasakan betapa besar dan berharganya nikmat-nikmat tersebut.

Mengingat-ingat nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita sangat bermanfaat. Baik secara agama maupun dunia. Bisa menambah keimanan dan kecintaan kepada Allah. Bisa menjadi sebab hidayah dan istiqomah. Membuat dada lapang dan melahirkan sifat qonaah (merasa cukup). Dan faidah-faidah lainnya yang sangat banyak. Allah Ta’ala berfirman,

وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ

“Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu.” (Quran Ali Imran: 103)

Dan juga firman-Nya,

وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَاقَهُ الَّذِي وَاثَقَكُمْ بِهِ

“Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu.” (Quran Al-Maidah: 7)

Yang perlu kita sadari, teguh di atas agama dan bertambahnya istiqomah adalah suatu kenikmatan. Hal itu bisa kita dapatkan dengan Kembali kepada Allah, bertaubat kepada-Nya, dan bersegera melakukan ketaatan. Serta bersegera meninggalkan hal-hal yang Allah larang baik berupa dosa besar maupun dosa kecil.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,

إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالاً هِىَ أَدَقُّ فِى أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ ، إِنْ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُوبِقَاتِ

“Sesungguhnya kalian mengerjakan perbuatan-perbuatan yang menurut pandangan kalian lebih kecil dari sehelai rambut, namun kami menganggapnya di zaman Nabi sebagai perbuatan yang dapat membinasakan (pelakunya).” (HR Bukhari)

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Bilal bin Saad rahimahullah mengatakan,

لا تنظُرْ إلى صِغَرِ الخطيئةِ، ولكن انظُرْ مَن عصَيْتَ

“Janganlah engkau melihat kecilnya maksiat tetapi lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat.” (@fen/sumber: khotbahjumat.com) **