INFO KEMITRAAN
Jumat, 18 Desember 2020
HIKMAH: Akhlak dalam Islam, Pengertian, Contoh, dan Manfaatnya
Kamis, 17 Desember 2020
TAUSIAH: Ingin Dicintai Allah? Sabar dan Tawakallah! (2/Habis)
Sebab, hanya Allah Subhanahu Wa Taala yang mempunyai kekuasaan atas segala hal. Segala usaha dan kerja keras kita tidak akan berarti apa-apa, jika Dia tidak menghendakinya.
Senin, 14 Desember 2020
TAUSIAH: Penuhi Hidup dengan Pahala karena di Dunia Hakikatnya Cuma 1,5 Jam Saja
Minggu, 13 Desember 2020
TAUSIAH: Sabar dan Tawakallah ketika Menghadapi Musibah
Oleh Sholehudin A Aziz
BAIT-BUAT-DAKWAH.BLOGSPOT.COM - Di tengah maraknya musibah yang melanda negeri tercinta, banyak sekali seruan ulama dan para tokoh nasional agar kita bersabar dan bertawakal kepada Allah SWT.
Ilustrasi./republika.co.id/ist.
Hanya dengan kesabaran dan tawakal, seluruh ujian atau cobaan dan musibah tersebut bisa dilalui dengan baik, membawa kebaikan, dan keberkahan.
Namun, kesabaran dan tawakal kadang kala terlalu mudah diucapkan, tetapi sulit merealisasikannya dalam praktik kehidupan seharihari.
Akhirnya, sabar dan tawakal hanya menjadi slogan dan jargon, minus aplikasi yang sesungguhnya.
Bersabar merupakan sifat khas kaum beriman sejati di samping bersyukur sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis Nabi yang artinya,
"Betapa unik sikap orang yang beriman. Semua yang terjadi pada dirinya dianggap baik. Tidak ada sikap seperti itu, kecuali pada orang yang beriman. Jika memperoleh kemudahan dia bersyukur, hal itu dianggap baik bagi dirinya. Dan, jika ditimpa kesulitan ia bersabar, hal itu dianggap baik bagi dirinya."
Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah saw. senantiasa mengajari orang yang terkena musibah dengan sikap yang paling bermanfaat bagi dirinya, yaitu bersabar dan introspeksi diri (al-ihtisab), dengan memberikan alasan bahwa sabar dan introspeksi diri akan dapat meringankan musibah dan memperbanyak pahala.
Rasulullah juga menegaskan bahwa banyak mengeluh, kesal, dan marah akan menambah beban musibah dan menghilangkan pahala. Rasulullah menjelaskan bahwa tidak ada anugerah Allah yang lebih baik dan lebih luas bagi hamba-hamba-Nya dibandingkan kesabaran. Karena Allah SWT benar-benar mencintai orang-orang yang bersabar. (QS Ali Imran (3): 146).
Kesabaran tidaklah muncul dengan sendirinya, tetapi ia harus diusahakan dan dibiasakan agar menjadi sifat utama diri. Di sinilah dibutuhkan pengorbanan melawan keinginan hati dan perjuangan menahan nafsu diri.
Yakinlah, dengan bekal kesabaran, dipastikan seluruh persoalan akan selesai dengan cara terbaik. Allah SWT berfirman,
"Sungguh Aku memberi balasan kepada mereka pada hari ini karena kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang." (QS Al Mu'minun: 111).
Sementara itu, tawakal merupakan pelengkap sejati sifat sabar. Tawakal merupakan kerja hati memasrahkan seluruh ujian dan cobaan kepada kehendak-Nya. Menurut Basyar al-Hafi dan Yahya bin Muaz, tawakal berkaitan erat dengan keridaan kita menjadikan Allah sebagai pelindung dalam kehidupan.
Kehadiran tawakal dalam diri akan menghadirkan kemudahan mengatasi persoalan. Karena kita benar-benar mengharap pertolongan dan kemudahan hanya dari Allah SWT Yang Mahakuasa dan Maha Penolong.
Penulis yakin, bila kombinasi kesabaran dan tawakal senantiasa hadir dalam diri dan jiwa setiap manusia, kemudahan dan kesuksesan akan menjadi capaian terbaiknya. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang sabar dan tawakal. Amin. (@fen/sumber: republika.co.id) **
Jumat, 11 Desember 2020
TAUSIAH: Kejujuran Itu Berkah, Kebohongan Musibah
Ilustrasi/republika.co.id/ist.
Bait-buat-dakwah.blogspot.com - Islam sangat menekankan kejujuran dan melarang keras kebohongan. Banyak ayat Alquran dan hadis Rasulullah saw. yang menegaskan hal tersebut.
Salah satu di antaranya adalah QS at-Taubah ayat 119, yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)."
“Ayat ini menegaskan bahwa ketakwaan dan kejujuran itu saling berkaitan. Kejujuran punya makna atau menjadi ibadah kalau dilandasi ketakwaan. Tidak mungkin orang bertakwa kalau dia tidak jujur,” kata Guru Besar IPB, Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS, seperti dikutip laman republika.coid.
Kiai Didin menambahkan, ada empat sifat yang wajib dimiliki oleh para rasul. Salah satu di antaranya adalah shiddiq (benar atau jujur). Lawannya adalah dusta.
“Dusta itu bukan sifat orang yang baik/takwa. Dusta itu sifat orang yang jahat. Karena itu, orang tua, pendidik, dan pemimpin harus jujur. Hal itu sangat penting untuk melahirkan generasi mendatang yang lebih baik, dan pemimpin umat yang amanah,” paparnya.
Kiai Didin mengutip sebuah hadis Rasulullah yang menekankan pentingnya kejujuran dan mengingatkan bahaya kebohongan.
“Berlakulah jujur, sesunguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan menghantarkan ke surga. Dan, seseorang yang senantiasa berlaku jujur akan tercatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Jauhilah dusta. Sesungguhnya dusta akan membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu akan menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. Seseorang yang sering berdusta akan tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR Muslim).
Dari hadis di atas, kata Kiai Didin, jelaslah bahwa sumber kebaikan itu adalah kejujuran.
“Jujur itu berkah. Kalau orang jujur, hasilnya baik. Tidak ada kebaikan tanpa kejujuran. Tidak ada prestasi yang baik tanpa kejujuran,” ujarnya.
Lebih dari itu, kejujuran akan mengantarkan seseorang masuk surga di akhirat kelak. Salah satu pintu di surga adalah Pintu Kejujuran.
“Hendaklah kalian menjadi orang yang jujur (shiddiq). Sebab, Shiddiq merupakan salah satu pintu di surga. Hendaklah kalian menjauhi dusta, sebab dusta merupakan salah satu pintu di neraka,” tutur Kiai Didin mengutip salah satu hadis Rasulullah saw.
Ia menambahkan, ayat Alquran dan hadis di atas menegaskan, kejujuran itu memerlukan pembiasaan.
“Apa saja yang baik perlu pembiasaan. Begitu pula, kejujuran perlu pembiasaan,” ujarnya.
Orang tua maupun pendidik perlu menerapkan pembiasaan jujur kepada anak dan murid. Orang tua dan guru harus menjadi teladan bagi anak dan siswa menerapkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari.
“Kita harus menanamkan dalam diri anak dan murid kita bahwa jujur itu mahal. Jujur itu indah. Jujur itu tinggi. Jujur itu mulia,” paparnya.
Sebaliknya, kata Kiai Didin, setiap orang harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghindarkan dirinya dari sifat dan perbuatan dusta.
“Dusta merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Karena itu, harus kita jauhi sejauh-jauhnya,” katanya.
Dusta itu, Kiai Didin menambahkan, sumber berbagai kejahatan. Dusta itu sumber kemunafikan.
“Rasulullah SAW menegaskan, ada tiga tanda orang munafik. Salah satunya adalah kalau berbicara, dia berdusta,” tuturnya.
Kiai Didin mengemukakan, saat ini dusta sudah berubah menjadi musibah. Orang melihat pesawat jatuh, gempa bumi dan gunung meletus, sebagai musibah.
Sebetulnya, ada musibah yang lebih besar lagi, namun tidak dianggap sebagai musibah. Apakah itu?
“Dusta! Bencana alam memang merupakan musibah. Namun, dusta merupakan musibah yang lebih besar lagi. Karena itu, Rasulullah mengajarkan kepada kita, ‘Ya Allah, janganlah engkau jadikan musibah bagi kami dalam agama kami (yakni merajalelanya perbuatan dusta)’,” kata Prof Didin Hafidhuddin menegaskan. (@fen) **
Rabu, 09 Desember 2020
TELAAH: Mengapa Allah SWT Mempunyai Sifat Rahman dan Rahim?
Beliau menjelaskan, apabila seseorang mengucapkan kata ‘Allah’, maka akan terlintas atau seyogianya terlintas dalam benaknya segala sifat kesempurnaan. Allah Mahakuat, Mahabijaksana, Mahakaya, Mahaberkreasi, Mahapengampun, Mahaindah, Mahasuci, dan Mahasegalanya.
Seseorang yang mempercayai Allah, pasti meyakini bahwa Allah adalah Mahasempurna dari segala hal dan Mahasuci dari segala sifat kekurangan. Sifat-sifat Allah yang diperkenalkan cukup banyak.
Dalam salah satu hadis dikatakan bahwa sifat atau nama-nama Allah berjumlah 99 nama/sifat. Demikian banyak nama/sifat Allah, namun yang terpilih dalam basmalah hanya dua sifat.
Yaitu kata sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang keduanya terambil dari akar kata yang sama. Agaknya, kata beliau, kedua sifat tersebut dipilih karena sifat itulah yang paling dominan. Dalam hal ini, Allah SWT menegaskan dalam Alquran surah Al-A’raf penggalan ayat 156 berbunyi:
ۖ وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“Wa rahmati wasi’at kulla syai’in,”. Yang artinya: “Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu.”
Maka, kedua kata tersebut, yakni Ar-Rahman dan Ar-Rahim berakar dari kata 'rahim' yang juga telah termasuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia dalam arti ‘peranakan’.
Apabila disebut kata rahim, umumnya orang Indonesia akan terlintasi makna ibu dan anak. Dari sana maka terbayanglah betapa besar rasa kasih sayang yang dicurahkan sang ibu kepada anaknya.
Namun demikian beliau menegaskan, jangan disimpulkan bahwa sifat rahmat Allah SWT sepadan dengan sifat rahmat ibu, betapapun besarnya kasih sayang seorang ibu. Karena Allah bukanlah zat yang dapat disamakan dengan makhluk atau jenis apa pun.
Di sisi lain dalam menguak sifat rahman dan rahim Allah SWT, Rasulullah bersabda dalam hadis riwayat Abu Hurairah:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله ﷺ يقول: جعل الله لرحمة مائة جزء، فأمسك عنده تسعة وتسعين، وأنزل في الأرض جزءًا واحدًا، فمن ذلك الجزء يتراحم الخلائق، حتى ترفع الدابة حافرها عن ولدها خشية أن تصيبه
“Allah SWT menempatkan rahmat menjadi 100 bagian. Dia menyimpan ini satu bagian. Satu bagian inilah yang dibagi pada seluruh makhluk (begitu meratanya sampai-sampai satu bagian yang dibagikan itu diperoleh pula oleh) seekor binatang yang mengangkat kakinya karena dorongan kasih sayang, khawatir jangan sampai menginjak anaknya.”
Lebih lanjut beliau menjelaskan, curahan rahmat Allah secara aktual pun dilukiskan dengan kata Rahman, sedang sifat yang dimiliki-Nya seperti tergambar dalam hadis di atas dilukiskan dengan kata rahim. Gabungan kedua kata itu menyiratkan bahwa Allah SWT mencurahkan rahmat kepada makhluk-Nya karena memang Dia merupakan zat Yang Memiliki sifat itu.
Dengan kata Ar-Rahman maka digambarkan bahwa Allah SWT sebagai sifat yang mencurahkan rahmat yang bersifat sementara di dunia ini. Sedangkan Ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya di dunia yang sementara ini meliputi seluruh makhluk, tanpa kecuali dan tanpa membedakan antara mukmin dan kafir.
Sedangkan rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di akhirat. Tempat kehidupan yang kekal yang hanya akan dinikmati oleh makhluk-makhluk yang mengabdi kepada-Nya. Di sisi lain, para ulama sebagaimana yang dijabarkan beliau, menjelaskan makna penggabungan kata Allah dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahim dalam basmalah.
Menurut para ulama, seorang yang jika bermaksud memohon pertolongan kepada Dia yang berhak disembah dan Dia Yang Mencurahkan aneka nikmat, maka yang bersangkutan menyebut nama tergantung dari zat yang wajib wujudnya itu sebagai pertanda kewajaran-Nya untuk dimintai.
Selanjutnya menyebut sifat rahmat-Nya untuk menunjukkan bahwa Dia wajar melimpahkan rahmat sekaligus wajar dimintai pertolongan dalam amal-amal kebajikan karena yang demikian itu adalah nikmat rahmat.
Selanjutnya dinyatakan bahwa curahan rahmat-Nya adalah wajar karena Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada dirinya. (@fen/republika.co.id) **
Kamis, 27 Agustus 2020
KHUTBAH JUMAT: Memetik Nilai Positif dari Pandemi Corona#
Rabu, 26 Agustus 2020
TAUSIAH: Muslim Dilarang Membuka Aib Saudaranya.
Kamis, 20 Agustus 2020
Khutbah Jumat: Refleksi Tahun Baru Islam 1442 Hijriah
Selasa, 18 Agustus 2020
TAUSIAH: 3 Perilaku yang Sangat Dibenci Rasulullah
Senin, 17 Agustus 2020
Tausiah: Hindari Lima Bentuk Kedurhakaan kepada Orangtua.
Sabtu, 15 Agustus 2020
Yang Mendapat Cahaya Ilahi di Balik Jeruji Besi (2/Habis)
Yang Mendapat Cahaya Ilahi di Balik Jeruji Besi (1)
Tausiah: Penyesalan Mereka yang Memilih Jalan Bengkok
Jumat, 14 Agustus 2020
Khutbah Jumat: Jangan Takut Tak Dapat Rezeki
Ilustrasi./minanews.net/ist.
Oleh Ali Farkhan Tsani
KITA sebenarnya tidak sedang mencari rezeki. Tapi menjemput rezki. Rezekinya sudah ada, sudah Allah tentukan. Tinggal kita jemput. Yang kita lakukan adalah mencari berkahnya dari rezeki itu.
Kita jangan takut dapat atau tidak dapat rezeki. Karena itu semua sudah ada dalam jaminan Allah. Yang penting adalah justru apakah kita dapat berkahnya atau tidak? Berkah itu karena halal caranya dan halal zatnya.
Jadi, kita ikhtiar jangan takut tidak dapat rezeki. Tapi takutlah tidak dapat rida Ilahi.
Wilayah kita adalah meluruskan niat, menyempurnakan ikhtiar dan memperkuat doa. Jangan risau tidak dapat rezeki yang itu sudah dijamin Allah. Tapi risaulah kalau tidak dapat rida Allah.
Pernahkah kita tidak minum dalam sehari saja? Atau tidak bernafas satu jam saja? Ternyata banyak rezeki yang datang sendiri. Air minum, udara, semua rezki dari Allah.
Bahkan saat kita di dalam kandungan ibu. Apakah kita mencari rezeki? Ternyata tidak. Rezekilah yang mendatangi kita.
Sekarang yang terpenting adalah kita kerja yang benar. Benar niatnya, benar pula caranya. Kalau dapat rezeki, kita bersyukur. Kalau tidak dapat atau belum sesuai harapan, ya kita bersabar.
Soal jaminan Allah dalam hal rezeki, di antaranya terdapat di dalam Surat Hud (11) Ayat 6:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرض إِلا عَلَى الله رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Al Lauh Al Mahfuz).”
Berkaitan dengan ayat ini, Syaikh As Sa’di menjelaskan bahwa seluruh rezeki dan ketentuannya hanya Allah yang semata-mata memilikinya. Simpanan rezeki tersebut adalah di tangan Allah. Allah-lah yang memberi pada siapa yang Allah kehendaki, Allah pula yang menghalangi rezeki tersebut pada yang lain sesuai dengan hikmah dan rahmat-Nya yang luas.
Bukan berarti juga berpangku tangan dan meminta-minta. Namun tetap maksimalkan ikhtiar, doa dan tawakkal. Ikhtiar itu fisikal. Doa itu lisan. Tawakkal itu jiwanya.
Berkaitan dengan ini, ada satu doa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ajarkan kepada kita agar kita merasa cukup dengan rezeki yang halal. Sehingga tidak perlu lagi menambah dengan yang haram. Sehingga tidak perlu lagi kita berbuat korup, menipu, menzalimi atau memakan riba.
اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
Artinya: “Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR At-Tirmidzi).
Hal lainnya adalah kita seringkali menyebut rezeki itu hanya yang bersifat materi, kasat mata, seperti uang, makanan, benda-benda, dsb. Namun justru ada rezeki dalam bentuk lain yang sering kita lupakan, yaitu rezeki dalam bentuk nikmat kesehatan, kelapangan waktu, ketekunan beribadah, nikmat Islam dan iman.
Kita dapat bertadarus satu hari satu juz, itu rezeki yang luar biasa. Kita konsisten salat lima waktu berjemaah, jangan lupa itu pun rezeki tak terkira. Kita memiliki anak yang tekun menghafal ayat-ayat Alquran, gemar ke masjid salat berjemaah, berbakti kepada orang tua. Itu pun sungguh rezeki sangat besar.
Semoga Allah cukupkan kita dengan rezeki yang halal, thayyib, berkah, mudah lagi melimpah. Aamiin. (@fen/sumber: minanews.net)**